Menu

Mode Gelap

Opini · 16 Sep 2017 09:20 WIB ·

Koalisi Poros Baru dan Kuda Hitam Figur di Pilgub Jabar


 Koalisi Poros Baru dan Kuda Hitam Figur di Pilgub Jabar Perbesar

Semakin memanasnya mesin-mesin partai dalam merajut benang merah koalisi semakin menarik untuk disimak. Dengan meninjau paket koalisi yang muncul, membuat beberapa partai berwacana mencari pola-pola kesepahaman demi mencari posisi strategis untuk bisa menempatkan kadernya sebagai calon yang bisa diusung bersama.

Masih adanya rentang waktu yang cukup untuk duduk bersama, mencari figur-figur internal kader partai pun akhirnya dilakukan, demi menjaga marwah partai politik sebagai organisasi pengkaderan yang mampu melahirkan kader-kader calon pemimpin terbaik.

Upaya yang dilakukan Partai Demokrat, PPP dan PAN yang mendeklirkan Koalisi Poros Baru, seolah berupaya melahirkan Figur kuda Hitam diluar gembar gembor figur utama calon gubernur yang selama ini ramai dibicarakan. Katakanlah Ada Ridwan Kamil, Dedi Mizwar dan Dedi Mulyadi.

Munculnya berita pecah kongsi antara Gerindra dengan PKS yang awalnya bermuara akan mengusung Dedi Mizwar dengan Ahmad Syaikhu. Membuat para kubu parpol saling membaca gerak langkah partai lain untuk berkoalisi ke mana.

Dan terakhir, resminya dukungan PKB untuk Ridwan Kamil menyusul dukungan awal dari Nasdem seolah memudahkan membaca arah-arah koalisi ini akan terbentuk. Lalu bagaimana kemungkinan ujung cerita koalisi-koalisi ini? Mari kita coba urai satu persatu.

Pertama, Jika melihat dari sisi aturan yang ditetapkan KPU, sampai hari ini hanya Golkar dan PDIP yang telah memenuhi syarat KPU minimal 20%. PDIP 20 Kursi dan Golkar 17 kursi telah lebih dari cukup memantapkan mereka untuk masing-masing mengusung figur dari kader internal. Koalisi ini kira-kira saat ini tengah duduk manis menemukan kesepahaman. Tinggal menunggu waktu partai mana lagi yang akan ikut bergabung dalam koalisi mereka.

Kedua, Wacana pecahnya komunikasi politik antara Gerindra dan PKS dengan menggugurkan usungan kepada Dedi Mizwar dengan alasan belum terdaftar sebagai kader Gerindra dan Ahmad Saikhu yang lebih betah sebagai wakil walikota Bekasi. Seolah ini adalah cara komunikasi politik media untuk membuka celah komunikasi dengan partai lain dan dengan sodoran opsi figur lain tentunya. Padahal dari segi syarat minimal, perolehan kursi Gerindra 11 kursi dan PKS 12 kursi telah memenuhi syarat minimal 20%.

Lalu pertanyaannya benarkah Gerindra dan PKS itu pecah kongsi dan berpindah ke figur lain? Dalam nalar analisa penulis, untuk saat ini tidak mungkin. Karena Gerindra dan PKS ini seolah telah mantap menjadi soulmate sejati di KMP. Disamping PKS saat ini tengah memiliki status incombent di Jabar.

Posisi ini jelas seksi bagi Gerindra. Sehingga akan sulit bagi mereka berpisah terlebih setelah keberhasilan penaklukan bersama di Pilkada DKI Jakarta, dengan kemenangan Anis-Sandi dan tentu peta strategis menuju Pilpres 2019 untuk Prabowo.

Ditambah tidak ikut sertanya Gerindra dan PKS dalam poros baru yang diinisiasi Demokrat, PPP dan PAN menjadi tanda bahwa tidak ada masalah berarti dalam hubungan koalisi mereka. Persoalan mereka kini hanya menertibkan figur agar manut akan garis arahan intruksi parpol. Demiz harus mau masuk jadi kader Gerindra agar lebih jelas, bahwa lapak Cawagub milik Kader PKS.

Ketiga, Nasdem 5 kursi dan PKB 3 kursi jelas masih jauh bagi Ridwan Kamil (RK) untuk bisa maju resmi dan mendaftar di KPU, seiring tidak atau belum terpenuhinya syarat minimal 20% atau 20 kursi untuk bisa dicalonkan untuk mengikuti kontestasi Pilgub Jabar.

Jika dilihat sisa partai yang belum memutuskan arah koalisi kini hanya ada Hanura, yang memiliki 3 kursi Dewan. Ditambah itupun masih belum cukup bagi RK untuk bisa mendaftar di KPU. Jika tak ada Bom koalisi dari partai lain, maka RK terancam gagal ikut kontestasi pilgub Jabar.

Keempat, Poros Baru yang digawangi Demokrat (12 kursi), PPP (9 kursi), PAN (4 kursi) telah memenuhi syarat KPU untuk bisa mengusung paket calon. Hanya tinggal persoalan siapa saja figur dari ketiga partai ini yang layak diusung?. Setidaknya ada 3 sosok yang bisa dikocok dalam survey poros baru ini. Perlu diingat, Demokrat memiliki figur Dede Yusuf, PPP ada UU Ruzhanul Hakim dan PAN ada Desi Ratnasari.

Tiga figur ini punya bekal cukup, pengalaman cukup dan dengan track record positif. unik karena Pemilih Jawa Barat ini sulit diprediksikan. Dalam 2  kali Pilkada gubernur, banyak lembaga survei yang meleset dalam menganalisa kemungkinan-kemungkinan pemenang di Pilgub Jabar lalu.

 

TSUNAMI KOALISI

Dari analisa diatas, maka bisa kita asumsikan, besar kemungkinan hanya tiga paket koalisi yang terbentuk di Pilgub Jabar. Dengan catatan, jika tidak ada dinamika tsunami perubahan arah mata angin koalisi sekarang, maka RK dipastikan gagal nyalon dan daya tariknya sebagai Jawara Survei tidaklah berarti apa-apa.

Lalu, apa yang menyebabkan RK dengan bekal hasil sebagai Jawara Survei nya menjadi tidak menarik bagi Parpol diluar Nasdem dan PKB? Setidaknya ada 2 alasan dalam analisa penulis dirangkum menurut persfektif orang-orang Parpol.

Pertama, RK dinilai telah melukai Gerindra dan PKS yang sedari awal mendukungnya menjadi walikota Bandung. RK kemudian dicap Cangkang lupa kulitnya. Walau RK sendiri membantah dirinya telah meninggalkan Gerindra dan PKS, karena keduanya mensyaratkannya untuk menjadi kader terlebih dahulu. Sedang RK sendiri ingin diusung banyak parpol tanpa syarat menjadi kadernya. Disadari atau tidak oleh RK, sikap ini cukup membekas bagi parpol yang jenjang pengkaderan dan etika organisasinya jelas.

Kedua, langkah RK mendeklarasikan diri jadi Cagub menggunakan Nasdem sebagai Parpol yang saat ini berada di KIH, juga dinilai egois dan tergesa-gesa, karena deklarasi itu tidak dilakukan bersama-sama atas dasar kesefahaman dengan partai lain. Dengan sikap itu, maka RK dinilai over confident, arogan dan terkesan tidak menghargai eksistensi partai. Terutama kepada Gerindra dan PKS yang berjasa mengantarkannya menjadi walikota Bandung.

Sejauh ini nasib pencalonan RK diujung tanduk, seiring sikap tiga partai yang memiliki modal jumlah kursi di DPRD Jabar cukup besar, yaitu Demokrat (12 kursi) ditambah PPP (9 kursi) 2 parpol saja secara syarat minimal 20% terpenuhi, ditambah PAN (4 kursi). menyatakan membentuk koalisi poros baru.

Jika loba lobi dan akselerasi RK yang di dampingi Nasdem dan ditambah PKB yang belakangan ikut mendukung mencapai kebuntuan dan artinya tidak ada partai lain yang bergabung. Maka gagal sudah harapan RK dicalonkan secara resmi di KPU oleh Nasdem dan PKB.

Hanya ada dua kemungkinan RK bisa dicalonkan, dan itu hanya terjadi jika Tim DPP Parpol turun gunung sehingga terjadi Tsunami koalisi. Terutama partai yang memiliki jumlah kursi besar yang berbalik mendukung RK dan menggenapkan dukungan Nasdem dan PKB yang otomatis terpenuhinya syarat minimal 20% untuk mengusung resmi RK di KPU. 

Setidaknya ada empat parpol besar yang mungkin berubah haluan, yaitu Golkar, PDIP, Demokrat, PPP yang bisa jadi masih tertarik dengan elektabilitas dan popularitas RK. Hanya saja, keempat parpol ini memiliki kultur kecendrungan memprioritaskan kadernya yang lebih rasional choice. 

Pertama, bagi Golkar, sangat resisten ketika Rekomendasi tidak diberikan kepada sosok Dedi Mulyadi yang notabene figur ketua DPD Golkar Jawa Barat, yang juga mampu menajamkan soliditas dukungan dari internal ditingkat DPD Golkar kabupaten/kota se-Jawa Barat. 

Terbukti dengan hasil-hasil survei yang dirilis beberapa lembaga survei yang menempatkan Dedi Mulyadi sebagai satu-satunya figur Parpol yang berada di 3 besar bersama RK dan Demiz. Bahkan Dedi Mulyadi kenaikan populi dan elektanya paling signifikan. Mengingat mobilitas, pergerakan kerja politiknya mengelilingi pos-pos pesantren dan desa-desa di Jawa Barat. Dari 5.952 desa di Jabar, Dedi mengklaim sudah 1.000 desa ia temui 2 tahun belakangan ini. 

Dengan kerja politik itu hasilnya menempatkan partai Golkar sebagai Parpol yang paling populer dan tingkat kepercayaan publiknya paling baik di Jabar, walau ditengah kasus yang mendera figur Sang Ketum DPP Golkar, Setnov yang menjadi status tersangka dalam kasus E-KTP. Kerja nyata Dedi Mulyadi bisa menutup celah masalah itu.

Maka, jika rekomendasi DPP Golkar tidak keluar untuk Dedi Mulyadi, asumsi penulis, Golkar sama dengan mematikan mesin partainya sendiri. Terlebih kepemimpinan Dedi Mulyadi ini cukup tajam di akar rumput. Dengan konsep Desa gempur kota, yang menjadi visi dan modal politik Dedi Mulyadi, sangat mungkin DM diambil oleh parpol lain jika Golkar meninggalkannya.

Kedua PDIP, partai ini seolah slow motion, tidak agresif dan tidak terlalu banyak manuver. Bahkan menyodorkan opsi calon figurpun tidak. Setelah menjalin komunikasi politik dengan Golkar, PDIP seolah cukup memiliki partner koalisi strategis dan besar. Dan pilihan figur lokomotifnya seolah jatuh kepada sosok Dedi Mulyadi. 

Kekuatan Megawati, kira-kira tetap menjadi pos yang menentukan. Dalam kacamata PDIP, modal 20 kursi ini tak cukup dan tak boleh jumawa walau bisa mencalonkan sendiri. RK yang jagoan survei pun tak mungkin laku dijual sendiri. Namun PDIP sangat bisa menentukan arah akhir dukungan. Sehingga tidak gegabah atau tergesa-gesa. Kegagalan di dua Pilgub strategis DKI Jakarta dan Banten cukup membuat PDIP lebih hati-hati bergerak. 

Ketiga Demokrat (12 kursi) mungkinkan mendukung RK? Sangat mungkin. Hanya saja maukah RK terlebih dahulu menjadi kader Demokrat? Atau RK cukup menjadi cawagub dari kader Demokrat Dede Yusuf? Segudang peluru opsi tidak mudah bagi RK. Yang jelas Demokrat ini pemaim cantik diposisi tengah.

Keempat, PPP (9 kursi) yang jika ditambah 5 kursi Nasdem dan 3 kursi PKB jelas tidak cukup. Karena hanya 17 kursi. RK hanya bs maju saat Hanura (3 kursi) juga ikut gabung. Persoalannya diterima tidak jika cawagubnya dari PPP UU Ruzhanul Hakim? Padahal Hanura juga memiliki calon yaitu Aceng Fikri mantan Bupati Garut. Yang mempunyai modal sebagai anggota DPD Jabar dengan perolehan suara terbanyak dipileg 2014 lalu.

Luka Gerindra dan PKS sudah barang tentu tidak akan memberikan dukungan lagi ke RK. Mungkin bisa dikatakan kapok. Tinggal kita mengukur poros baru yang digadang Demokrat, PPP, PAN ini menawarkan opsi figur siapa. Jika figurnya diluar RK, maka dipastikan dukungan ke RK dari Nasdem dan PKB pun turut bubar dan mengalihkan dukungan ke poros lain yang sudah terbentuk.

Dekat kemungkinan Nasdem & PKB bergabung di poros pertama Golkar PDIP. Yang jelas sebagai mitra koalisi di DPP. Pilihan ini lebih rasional dan mendekati dibanding bergabung dengan poros dua, Gerindra dan PKS.

 

Rentang Waktu Tahapan KPU

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 akan digelar serentak di 171 daerah di Indonesia. Pilkada ini diikuti 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Bagaimana tahapannya?

Ketentuan tentang tahapan itu tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada tahun 2018. Dalam peraturan itu, pemungutan suara digelar serentak pada 27 Juni 2018. Berikut rangkuman tahapan Pilkada 2018:

Syarat Dukungan Perseorangan
1. Penyerahan syarat dukungan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur untuk KPU Provinsi/KIP Aceh: 22-26 November 2017
2. Penelitian administrasi dan analisis dukungan ganda: 22 November-5 Desember 2017
3. Penyampaian syarat dukungan kepada KPU/KIP Kabupaten/Kota: 6-8 Desember 2017
4. Penyerahan syarat dukungan pasangan calon bupati-wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota kepada KPU/KIP Kabupaten/Kota: 25-29 November 2017
5. Penelitian administrasi dan analisis dukungan ganda: 25 November-8 Desember 2017
6. Penyampaian syarat dukungan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota kepada PPS: 9-11 Desember 2017
Pendaftaran Pasangan Calon
1. Pendaftaran pasangan calon: 8-10 Januari 2018
2. Tanggapan masyarakat atas dokumen syarat pasangan calon di laman KPU: 10-16 Januari 2018
3. Pemeriksaan kesehatan: 8-15 Januari 2018
4. Penyampaian hasil pemeriksaan kesehatan: 15-16 Januari 2018
5. Pemberitahuan hasil penelitian syarat pencalonan yang diajukan parpol atau perseorangan: 17-18 Januari 2018
6. Perbaikan syarat pencalonan atau syarat calon: 18-20 Januari 2018
7. Pengumuman perbaikan dokumen syarat pasangan calon di website KPU: 20-26 Januari 2018
8. Penetapan pasangan calon: 12 Februari 2018
9. Pengundian nomor urut: 13 Februari 2018
Masa Kampanye
1. Kampanye pertemuan-pertemuan dan penyebaran bahan kampanye: 15 Februari-23 Juni 2018
2. Debat publik terbuka: 15 Februari-23 Juni 2018
3. Kampanye melalui media massa: 10-23 Juni 2018
4. Masa tenang dan pembersihan alat praga: 24-26 Juni 2018
Laporan dan Audit Dana Kampanye
1. Penyerahan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK): 4 Februari 2018
2. Penyerahan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK): 20 April 2018
3. Penyerahan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK): 24 Juni 2018
4. Pengumuman hasil audit dana kampanye: 11-13 Juli 2018
Pemungutan dan Penghitungan
1. Pemungutan dan penghitungan suara di TPS: 27 Juni 2018
2. Pengumuman hasil penghitungan suara di desa/kelurahan: 27 Juni-3 Juli 2018
3. Rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat kecamatan untuk kabupaten/kota: 28 Juni-4 Juli
4. Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota untuk pilkada kabupaten/kota: 4-6 Juli 2018
5. Rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat kabupaten/kota untuk Pilgub: 4-6 Juli 2018
6. Rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat provinsi untuk Pilgub: 7-9 Juli 2018
Sengketa perselisihan hasil pemilihan: Mengikuti jadwal di Mahkamah Konstitusi
Penetapan pasangan calon terpilih pasca putusan MK: Paling lama 3 hari setelah penetapan, putusan MK dibacakan.
Demikianlah acuan tahapan jadwal yang ditetapkan KPU, artinya masih ada rentang waktu yang cukup kurang lebih tiga bulan. Tidak ada kata terlambat bagi Poros baru untuk memunculkan opsi paket figur lain, untuk ditawarkan ke publik Jabar.
Hanya saja tentu komunikasi politik para elit ini harus terus berjalan dari sekarang, jika tidak ingin ketinggalan gerbong. Dan bongkar pasang gerbong koalisi. Semoga koalisi-koalisi pilgub Jabar menghasilkan lokomotif-lokomotif yang layak dipilih dan diperjuangkan untuk rakyat Jabar, untuk Jabar yang lebih baik. Wallahu ‘alamu bishawwab.
Oleh: Hadi Saeful Rizal, S.Sos.I, M.Pd
Pengamat Sosial Politik dan Direktur Institut Holistika Education (IHD).
Artikel ini telah dibaca 7 kali

badge-check

Editor

Baca Lainnya

Kursi Empuk DPR RI dan DPRD Provinsi, Siapa Berpeluang?

7 Januari 2024 - 17:16 WIB

Sahabat Disabilitas: Diberdayakan, Bukan Dimanfaatkan

8 November 2023 - 17:58 WIB

Kyai Anwar Nasihin dan Kiprah NU untuk Kemajuan Purwakarta

3 September 2023 - 13:45 WIB

Pemilih Pemula Sudah Seperti Buih di Lautan

21 Februari 2023 - 13:05 WIB

Angka Kemiskinan Diantara Program Melanjutkan Purwakarta Istimewa

20 Februari 2023 - 16:07 WIB

Masih adakah Mahasiswa yang Dirindukan Seperti Sejarah di Buku Pergerakan?

12 Februari 2023 - 19:00 WIB

Trending di Opini