Menu

Mode Gelap

Opini · 5 Jul 2022 16:00 WIB ·

Pemerintah Gamang dalam Penanganan Wabah PMK Sapi


 Dan K Ramdan Perbesar

Dan K Ramdan

PROSEDUR, rantai birokrasi dan anggaran adalah tiga faktor yang selalu menjadi penghambat pemerintah dalam mengambil langkah strategis dan tindakan taktis untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian apapun.

Setidaknya ini terihat dalam penanganan menjalarnya penyakit mulut dan kuku (PMK) sapi. Belum lagi keberpihakan kebijakan karena kepentingan pemerintah akan mempengaruhi bentuk kualitas kebijakan yang diambilnya.

Keengganan pemerintah untuk menjadikan penularan PMK sapi sebagai wabah nasional adalah sikap yang tidak tepat. Terlebih pasca pemulihan Covid-19 yang terus bermutasi dan pada saat di mana tingkat kematian sapi yang cukup tinggi karena wabah PMK. Ini tentu sangat merugikan peternak, terutama peternak rakyat.

Pada awalnya pemerintah sudah mengetahuinya melalui Badan Karantina Pertanian Kementan, bahwa per 22 Mei 2022 PMK menjangkiti 5,45 juta ekor sapi. Angka ini setara dengan 39,4 persen dari total hewan ternak nasional pada akhir 2021.

Pemerintah mulai menetapkan dua daerah terdampak, yaitu provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Jawa Timur. Data Kementan menunjukkan, per 22 Mei 2022, jumlah hewan terdampak di Aceh pernah mencapai 315.612 ekor atau 55,66 persen dari hewan ternak yang ada di provinsi tersebut.  Sementara PMK di Jawa Timur  merebak di 18 kabupaten. Tercatat 2,56 juta ekor sapi terdampak, atau 48,82 persen dari total populasi di provinsi tersebut.

Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021, Jawa Timur dan Aceh termasuk dalam kelompok 10 provinsi dengan populasi ternak sapi potong terbanyak nasional. Populasi sapi potong di Jawa Timur tercatat sebanyak 4,94 juta ekor atau 27,36 persen dari total populasi nasional. Sementara di Aceh sebanyak 452 ribu ekor (2,5 persen).

Ini sebenarnya sudah menjadi asupan data yang cukup signifikan untuk mengambil langkah-langkah strategis dan tindakan taktis di lapangan. Sayangnya terlepas dari implikasi sumbangan kedua daerah tersebut terhadap sapi potong nasional, hal yang menarik adalah ketika data terdampak PMK diralat Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.

Mentan menyebutkan bahwa per 17 Mei 2022  PMK tersebar di 15 provinsi dan sudah mencakup 52 kabupaten/kota.  Dia melanjutkan bahwa Populasi ternak di 15 provinsi tersebut tercatat 13,8 juta ekor. Dari jumlah populasi itu, yang benar-benar terdampak ditemukan kasus PMK pada populasi 3,9 juta ternak.

Yang benar-benar dinyatakan positif terkena PMK ada sekitar 13 ribu ternak. Pemerintah hanya mengambil langkah berupa peta kawasan hewan ternak selama wabah PMK menjadi empat bagian, yakni daerah wabah, daerah tertular, daerah terduga, dan daerah bebas.

Daerah wabah merupakan yang resmi ditetapkan mengalami wabah PMK oleh Kementan. Sebuah sikap ringan dan pernyataan yang mengherankan ketika pemerintah meralat data terdampak. Jumlahnya menyusut menjadi hanya 13 ribuan ternak sapi, sementara sebarannya meluas ke 15 provinsi. Ini menandakan bahwa kasus PMK disikapi sebagai hal yang normal dan tak sebahaya seperti yang banyak diributkan pengamat di berbagai media.

Meskipun hal itu  berdasarkan konfirmasi tes PCR oleh laboratorium dengan hasil mencapai 13.968 ekor. Atau 0,36 persen dari populasi ternak terdampak. Ini dinyatakan Mentan dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (23/5/222). Apakah sesederhana itu kebijakan yang diambil, tanpa melihat jangkauan akibatnya yang dirasakan peternak sapi?

Pemerintah saat itu tidak mengambil langkah terbaik untuk mengendalikan tingkat kerugian yang dirasakan peternak sapi. Pemerintah malah menganggap kasus PMK adalah hal wajar. Dan karena dianggap kejadian wajar, maka sikap yang diambil Kementan hanya mengambil langkah dengan tiga rencana aksi.

Ketiganya yakni agenda darurat, meliputi pemotongan paksa ternak yang terkonfirmasi positif PMK, penetapan lock down zona wabah dan penutupan pengeluaran ternak dari Jawa Timur, serta pembatasan ternak masuk ke Jawa Timur. Dalam aksi ini, diatur pula pengaturan lalu lintas ternak, pasar hewan dan rumah potong hewan.

Tiga hal itu diteruskan dengan upaya membuat agenda temporary yaitu pengadaan vaksin, vaksinasi darurat dan pembatasan lalu lintas dan produk hewan. Sedangkan agenda permanennya yakni pembuatan vaksin oleh Pusvetma Kementan yang ada di Surabaya, vaksinasi massal dan pengawasan secara rutin.

Implikasi kebijakan yang sederhana ini, coba kita ambil ilustrasi sebagai sampling terhadap kondisi yang terjadi di wilayah Kecamatan Pudak yang menjadi wilayah paling parah terdampak PMK.

Pada tayangan TVONE news melalui link https://www.tvonenews.com/daerah/jatim/48819-wabah-pmk-meluas-peternak-sapi-perah-di-pudak-ponorogo-desak-keringanan-angsuran-bank?page=2 disebutkan bahwa seorang peternak bernama Edi Haryono harus mengangsur pada Juni sebesar Rp 3,5 juta. Dia terpaksa harus menunggak lantaran pihak PT Nestle tidak menerima susu Sapi dari Pudak karena mengandung antibiotik.

Masih menurut berita itu, data di Pemerintah Kecamatan Pudak tercatat 12.000 populasi sapi perah, dan 5.000 ekor terjangkit PMK. Dari jumlah itu, sebanyak 500 ekor diantaranya mati, baik itu dipotong paksa maupun mati di kandang. Sementara jumlah peternak sapi perah di wilayah ini mencapai 8.739 orang.

Jika kita ambil rata-rata secara kontinum, maka ada sekitar 3.641 peternak yang hewan ternaknya terjangkit PMK. Dalam berita tidak disebutkan berapa orang yang menggunakan dana perbankan untuk mengelola usaha sapi perah susu. Jika kita asumsikan 20 persen saja yang menggunakan dana perbankan, maka ada sekitar 728 orang yang menunggak ke perbankan.

Sikap cepat tanggap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko memanggil pihak bank seperti Bank Jatim, Bank BRI, dan Bank BNI yang memiliki debitur peternak sapi perah di Kecamatan Pudak, tak akan bisa optimal. Karena restrukturisasi atau bentuk lainnya adalah adanya sikap lunak dari perbankan dalam bentuk reschedule utang tentu tidak serta merta bisa dilakukan. Sebab, harus menunggu otoritas jasa keuangan dengan regulasi tersendiri.

Sementara kita tahu, baik restrukturisasi maupun reschedule hanya bisa terjadi bila ada kejadian force majeur.  Meninjau pada uji sampling di atas, memberikan penilaian bahwa sikap Pemerintah RI melalui Mentan tak berpihak kepada rakyat, tetapi malah kepada perbankan.

Kenapa tidak berpihak kepada rakyat? Karena jika pemerintah memang berpihak kepada rakyat, di saat terjadi sebaran meluas mencapai 15 provinsi, langkah strategis yang segera diambil adalah menyatakan bahwa PMK pada sapi sebagai bencana alam atau wabah nasional. Dengan demikian imbasnya akan dirasakan langsung para peternak dalam bentuk kelunakan dari pihak perbankan.

Berbeda jika kebijakan yang diambil hanya dengan membagi zonase dan rencana-rencana recehan, karena perbankan tak serta merta dapat mengubah sikapnya untuk melakukan restrukturisasi, termasuk reschedule terhadap debitur.

Uji kasus di atas memang tidak bisa dijadikan sebagai uji sampling yang memenuhi persyaratan akademis. Namun bagaimana jika uji kasus ini secara sekunder dikomparasikan kelengkapannya dengan beberapa pernyataan dari varian masyarakat peternakan Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang menyatakan terjadi penurunan produksi susu sapi hingga 30-40 persen sejak wabah PMK merebak.

Hal ini dipertegas Wakil Ketua Komisi Tetap Bidang Peternakan Kadin Indonesia Yudi Guntara Noor dalam webinar yang diselenggarakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta, Jumat (1/7/2022). Yudi mengatakan bahwa infeksi PMK pada sapi perah berdampak lebih buruk dibandingkan sapi potong.

Indikasi terinfeksinya PMK pada sapi perah, selain indikasi umum PMK seperti lepuh di bibir dan kuku, juga terjadinya penurunan produksi susu secara drastis. Dia menjelaskan sapi perah yang terinfeksi PMK mengalami penurunan produksi susu, atau bahkan berhenti berproduksi.

Jika 30-40 persen penurunan jumlah produksi susu nasional dikomparasikan dengan produksi susu sapi Jawa Timur pada 2021 mencapai 558.758 ton, ini adalah angka peningkatan dari produksi dibandingkan tahun 2020 sebesar 534.152 ton.

Dengan demikian kita bisa dapatkan angka perkiraan kurang lebih ada sekitar 2.264 peternak, dengan rata – rata perorang memelihara 10 ekor sapi perah (FH).

Hal ini belum termasuk sapi potong, baik jenis BX dan sapi domestik atau sapi pegon.

Lantas bagaimana dengan data produksi susu sapi nasional? Setidaknya 107,48 juta liter susu pada tahun 2021 bila dihitung ulang secara kontinum dan dikomparasikan, akan menghasilkan data peternak sapi yang terdampak menjadi lebih besar. Ini bila dibandingkan dengan uji kasus terhadap produksi susu dari Jawa Timur.

Dalam release koran online pikiran rakyat dengan link https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-014870800/data-terbaru-pmk-di-indonesia-per-29-juni-2022-291538-hewan-terjangkit-tersebar-di-19-provinsi diketahui bahwa data terbaru dari Kementerian Pertanian menyebut PMK telah menyebar di 19 provinsi di Indonesia.

Bahkan Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementan menambahkan bahwa data per 29 Juni mencakup 221 kabupaten/kota dengan jumlah tertinggi ada di lima provinsi. Apakah pemerintah masih tetap bersikukuh berpihak kepada lembaga pembiayaan, ataukah akan merubah haluan yang lebih permisif dan mengalihkan keberpihakannya terhadap rakyat peternak?

Dengan hadirnya regulasi dan SE BNPB, rasanya kita semakin pesimistis bisa dilakukan dalam bentuk kebijakan ulang yang lebih berpihak kepada rakyat.***

 

Oleh : Dadan K. Ramdan

*Penulis adalah Sekretaris Umum PPI Pimda Jawa Barat

Artikel ini telah dibaca 98 kali

Baca Lainnya

Kursi Empuk DPR RI dan DPRD Provinsi, Siapa Berpeluang?

7 Januari 2024 - 17:16 WIB

Sahabat Disabilitas: Diberdayakan, Bukan Dimanfaatkan

8 November 2023 - 17:58 WIB

Kyai Anwar Nasihin dan Kiprah NU untuk Kemajuan Purwakarta

3 September 2023 - 13:45 WIB

Pemilih Pemula Sudah Seperti Buih di Lautan

21 Februari 2023 - 13:05 WIB

Angka Kemiskinan Diantara Program Melanjutkan Purwakarta Istimewa

20 Februari 2023 - 16:07 WIB

Masih adakah Mahasiswa yang Dirindukan Seperti Sejarah di Buku Pergerakan?

12 Februari 2023 - 19:00 WIB

Trending di Opini