“Mereka yang menguasai interpretasi doktrin, bisa menciptakan perdamaian atau merusaknya” Jan D Walter
Memulai dari obrolan kecil tentang “Kepala Kerbau” dengan teman yang belakangan aktif dalam diskusi-diskusi filsafat di Jakarta. Ada satu pertanyaan menarik yang saya ajukan, Adakah kesenjangan atau masalah dengan foto-foto Kepala Kerbau yang terus disebar ulama yang menurut saya “pemerkosa agama” sebagai alat politik?. Pertanyaan itu saya lontarkan sebagai batasan untuk meyakinkan masyarakat kita yang awam agar tidak terjebak taqlid.
Mesti ada pemahaman yang komprehensif dalam menilai perspektif “Kepala Kerbau”. Artinya perspektif yang muncul harus dipahami sebagai multi sudut pandang dari sisi politik, agama, sosial-ekonomi, dan budaya. Tidak kemudian ditarik pada satu garis linear “Agama yang diperkosa” untuk mendiskreditkan seseorang dengan motif politik.
Jika tujuan memunculkan foto pada media sosial itu sebagai alat politik bukan agama maka ulama-ulama tersebut mesti jujur pada diri sendiri sebelum disebar ke umum. Jangan kemudian agama dijadikan alat politik yang membingungngkan masyarakat dan menurut saya terasa pahit bagi siapapun. Ini saya cermati betul bagaiamana agama menjadi alat politik mereka, nilai spiritualitas kemudian tidak menjadi penting bila melihat ulama-ulama seperti ini.
Diskusi itu kemudian berlanjut pada garis linera dari sudut pandang agama. Bila kemudian motifnya adalah kritik spiritual maka alangkah baiknya bila ulama tersebut melakukan tabayyun sebagai jalan menemukan titik terang. Jika tanpa melalui proses tabayyun maka saya yakin ada usaha menyebarkan fitnah dan diskriminasi spiritual sekaligus sosial kepada sosok tertentu. Ulama seperti ini yang kemudian saya takutkan dimanapun akan menjual murah dalil Al-Qur’an untuk kepentingan politik. Al-Quran sebagai hudan bagi seluruh umat manusia kemudian diartikan sebagai ayat-ayat politik yang menakutkan.
Saya membayangkan bila kemudian agama menjadi alat kepentingan politik, dan suatu saat duduk di pemerintahan, tokoh oposisi yang bertentangan dengannya maka akan mudah di kafirkan, dan bila kafir kemudian halal darahnya. Ulama-ulama seperti ini menurut saya akan lebih menakutkan daripada ajaran agama itu sendiri, agamanya telah diperkosa untuk kepentingannya.
“Kelompok-kelompok ini tidak segan-segan untuk memobilisasi masa (dan bahkan Tuhan) dengan menggunakan sentiment-sentimen primordial agama dan etinisitas demi mencapai kepentingan politik ekonomi pragmatis” Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.
Ada suatu ketika dimana Rosulullah SAW hijrah ke Yatsrib yang kemudian diberi nama Madinah asal kata Tamaddun (beradab) saat itu ada dua suku penganut Islam yakni Aus dan Khazraz dan tiga suku beragama non muslim diantaranya suku Nadzir dan Quraidah. Meski berbeda-beda suku dan agama Rosulullah tidak melihat itu sebagai suatu yang berbeda melainkan satu umat. Ketika itu aturan berlaku bagi semua penganut agama tidak ada pembedaan, konsep ini kemudian menjadi konsep konstitusi modern.
Penulis : Saefudin Sei (Pimpinan Redaksi Purwakarta Post)