Menu

Mode Gelap

Opini · 14 Okt 2018 12:56 WIB ·

Strategi Mendongkrak Elektabilitas Calon Anggota Legislatif di 2019


 Strategi Mendongkrak Elektabilitas Calon Anggota Legislatif di 2019 Perbesar

Jelang hajat demokrasi Pemilu 2019 yang akan di gelar 17 April 2019, membuat para kontestan harus bersiap diri menempatkan posisi dan strategi pemenangan guna meraih simpati masyarakat agar mayoritas memilihnya, agar bisa duduk menjadi seorang Anggota dewan.

Mengukur kadar kekuatan figur tokoh politik yang mencalonkan diri sebagai calon anggota dewan bukan perkara mudah. Kita tidak bisa seenaknya membuat kesimpulan sesat, bahwa tokoh politik A kuat, apalagi atas dasar hanya karena dibicarakan segelintir orang.

Tafsir “kuat” memiliki pengertian bersayap, bisa diterjemahkan juga tokoh politik tertentu cukup populer karena rekam jejak yang bagus atau karena rekam jejak yang buruk tapi soal apakah nanti dipilih rakyat, belum tentu.

Jadi, popularitas seseorang hanya merupakan pintu masuk tapi bukan segalanya.

Sampai titik ini, maka dibutuhkan ukuran lain dengan apa yang disebut elektabilitas tokoh politik/ sang kandidat. Akan sangat bagus sekali jika popularitas dan elektabilitas itu berjalan beriringan bak semut ketika mengangkut makanan.

Menurut Hasanudin Ali, CEO Alvara Research Center tingkat elektabilitas atau keterpilihan seorang tokoh politik/ calon legislatif, dipengaruhi oleh 3 faktor seperti popularitas, citra diri, serta ikatan batin.

Populer di mata masyarakat pemilih tidak berarti harus duduk di rangking nomor satu dari sekian kandidat. Karena yang terpenting, dia masih dalam peringkat 3 besar sehingga masih memiliki ruang cukup lapang untuk terpilih.

Kemudian citra diri, faktor citra ini menyangkut karakter dan kemampuan tokoh politik. Citra kandidat yang low profile, murah senyum, tidak susah bertemu sangat disukai masyarakat.

Namun, kata Corner dan Pels bahwa aktifitas politik yang hanya mengedepankan pencitraan politik, tanpa dibarengi penguatan kualitas diri politik, pada akhirnya hanya meretas nihilisme.

Karena itu membangun citra tokoh politik tertentu wajib ditopang dengan kemampuan komunikasinya yang baik seperti mampu memberikan solusi-solusi kongkrit atas masalah-masalah masyarakat. Dengan begitu akan semakin mendongkrak popularitasnya yang bermuara pada elektabilitas.

Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek, mengatakan citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang, menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu.

Adapun ikatan batin, merupakan hubungan emosional mendalam dari kandidat dan masyarakat pemilih.

Ini akan tercipta jika masyarakat pemilih merasa tidak ada jarak antara mereka dan kandidat.

Kenapa ikatan emosi harus dibangun?

Takarannya sederhana, karena secara garis hubungan kekeluargaan tidak ada sama sekali. Untuk memasuki fase membangun jalinan ikatan emosi pilihan satu-satunya adalah menyentuh titik kepentingan mereka.

Bagaimana kita bisa tahu apa kepentingan masyarakat pemilih?

Untuk bisa tahu apa yang menjadi kepentingan masyarakat pemilih itu, cara yang paling masuk akal adalah dengan metode blusukan ke simpul-simpul suara dibarengi dengan memberi wibawa Tim.

Seorang sosiolog asal Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito mengatakan, model kampanye blusukan saat ini memang sedang tren di kalangan politikus Indonesia. “Tren gaya kampanye politikus saat ini banyak dipengaruhi pola kampanye Jokowi”.

Senada juga dituturkan Charles Bonar Sirait yang menulis buku “kekuatan berbicara di publik” bahwa masyarakat akan memberikan respons dan penghormatan jauh lebih besar kepada politikus yang mendatangi mereka secara langsung. “Nilainya sangat tinggi dan tidak terbayarkan,”

Hasil Penelitian Elektabilitas

Banyak gagasan menaikkan popularitas dan elektabilitas tokoh politik dilakukan oleh tim suksesnya tanpa memiliki pijakan kuat dan mapan, semisal kajian ilmiah.

Kalau pun digunakan, bakal membuat mereka pening, pusing-pusing dan tersesat lebih jauh ke rimba dunia tak berujung.

Kalau dikatakan gagasan itu cuma spekulasi, pas benar, karena akhirnya cuma membuang waktu, biaya dan tenaga secara percuma.

Sebenarnya, beberapa hasil penelitian tentang naik turunnya elektabilitas seorang tokoh politik sudah banyak dipaparkan para ahli.

Seperti yang di lakukan LCS Survey 2014 silam di 34 propinsi, menyimpulkan bahwa 38,3 persen warga lebih cenderung memilih tokoh politik yang menjalankan kampanye blusukan, 35.9 persen memilih tokoh politik karena pemberitaan, terakhir 25.8 persen masyarakat memilih seorang tokoh politik karena iklan di media massa.

Hal yang sama juga dipaparkan Riris dan Yogih dalam jurnalnya “Mencari Bentuk Kampanye Politik Khas Indonesia” mengungkap bahwa kandidat yang mendapatkan simpati dari masyarakat adalah sosok yang memangkas jarak dengan masyarakat.

Hal sedikit berbeda diutarakan Venus dalam bukunya manajemen kampanye bahwa masyarakat sebagai pemilih mempertimbangkan calon dari apa yang dilihat di media massa

Menurut McGinnis seperti yang dikutip Dennis Kavanagh dalam bukunya Ellection Campaigning: The New Marketing of Politics, pemilih sesungguhnya melihat kandidat bukan berdasarkan realitas yang asli melainkan dari sebuah proses kimiawi antara pemilih dan citra kandidat (gambaran imajiner). Citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat, begitupun sebaliknya.

 

Pilihan Strategi Tokoh Politik
Strategi secara prinsip dasar merupakan cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Tentu tujuan di maksud adalah memenangkan hati rakyat sehingga mampu mendulang suara yang begitu banyak dan melimpah ruah.

Biasanya ada dua strategi yang diterapkan dalam pertarungan politik yang dikemas dalam bahasa Incumbent versus penantang dan diturunkan melalui rupa-rupa aksi.

Seperti, strategi incumbent biasanya akan selalu mempertontonkan segala pencapaian agar mendapat alasan dan restu masyarakat untuk dilanjutkan.

Sementara itu bagi seorang penantang akan berupaya menunjukkan sisi-sisi kegagalan incumbent yang maju kembali dalam pertarungan politik.

Lepas dari dua strategi itu, ada beberapa pilihan strategi yang sangat direkomendasikan para pakar komunikasi politik, seperti :

1. Kunjungan langsung terprogram
2. Kunjungan langsung insidental (door to door)
3. Ceramah/dialog
4. Aksi sosial terprogram
5. Aksi sosial insidental
6. Peresmian
7. Kontrak politik
8. Turnamen
9. Pawai
10. Hiburan/Kesenian
11. Menggunakan media center
12. Perlombaan

12 strategi ini adalah cara yang sangat efektif untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas seorang tokoh politik hingga lebih dari 73 persen.

Apakah 12 strategi itu harus digunakan semua ?

Ya, kalau betul berminat ingin menang telak dalam pertarungan politik.

Namun sayangnya, kalau lawan politik menggunakan strategi yang sama maka peluang mendulang suara terbanyak itu cenderung akan menipis.

Kesimpulan

Popularitas dan elektabilitas adalah dua hal yang berbeda tapi merupakan 1 paket yang harus dikejar seorang tokoh politik agar mampu meraup suara terbanyak dalam pertarungan politik.

Hasil penelitian, ada 3 pilihan dalam mendongkrak popularitas dan elektabilitas tokoh politik yang selalu menjadi saluran masyarakat pemilih menjatuhkan pilihannya, seperti :
1. Metode blusukan
2. Metode pemberitaan
3. Metode Iklan di media massa

Dengan menggunakan ketiga pintu ini, bisa digaransi seorang tokoh politik akan sukses mendulang suara rakyat yang cukup banyak, dengan catatan harus dirahasiakan pada lawan politik metode dan strategi mana yang dipakai.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah open bujet pemenangan kepada tim utama, karena kerja-kerja politik adalah kerja-kerja taktis dan teknis yang mesti terukur secara financial dan kemampuan.

Sehingga kondisi ini disadari strateginya dari awal oleh tim. Dan hal ini juga diperlukan agar tidak ada yang dikecewakan guna membentengi keikhlasan tim dalam bekerja. Karena merekalah yang akan fokus bekerja memenangkan dilapangan.

Terakhir, bekerjalah berdasarkan target suara dan tujuan pencapaian. Hal ini mesti dilakukan dengan data, tidak bisa sporadis apalagi tanpa hitung-hitungan basis pemenangan di daerah pemilihan.

Perlu diingat ada sejumlah kompetitor yang melakukan pola yang hampir sama, baik dari internal parpol maupun diluar. Sehingga anda harus segera mengikat orang-orang potensial dan berpengalaman, jika bisa merekrut tipikal orang penggerak, perekrut guna menguatkan tim pemenangan anda dimedan pertempuran suara mengambang guna meraih kemenangan di 2019. Selamat bertarung. Tetaplah progresif. (HSR)

 

Oleh: Hadi Saeful Rizal, S.Sos.I, M.Pd

(Founder Ananta Care Consulting & Pengamat Kebijakan Ekonomi, Sosial dan Politik)

Artikel ini telah dibaca 46 kali

badge-check

Editor

Baca Lainnya

Kursi Empuk DPR RI dan DPRD Provinsi, Siapa Berpeluang?

7 Januari 2024 - 17:16 WIB

Sahabat Disabilitas: Diberdayakan, Bukan Dimanfaatkan

8 November 2023 - 17:58 WIB

Kyai Anwar Nasihin dan Kiprah NU untuk Kemajuan Purwakarta

3 September 2023 - 13:45 WIB

Pemilih Pemula Sudah Seperti Buih di Lautan

21 Februari 2023 - 13:05 WIB

Angka Kemiskinan Diantara Program Melanjutkan Purwakarta Istimewa

20 Februari 2023 - 16:07 WIB

Masih adakah Mahasiswa yang Dirindukan Seperti Sejarah di Buku Pergerakan?

12 Februari 2023 - 19:00 WIB

Trending di Opini