Menu

Mode Gelap

Opini · 11 Sep 2017 19:53 WIB ·

Medsos Partai Baru yang Berpolitik Tanpa Ketum


 Medsos Partai Baru yang Berpolitik Tanpa Ketum Perbesar

“Sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”. (Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, 2010 “Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media”. Business Horizons 53(1): 59–68. Wikipedia).

Belakangan ini masyarakat Indonesia telah sedikit banyak memanfaatkan media sosial (medsos) blog, jejaring sosial dan wiki sebagai alat komunikasi masa dalam jaringan. Efektif, efisien menjadi alasan kuat masyarakat beralih menggunakan medsos sebagai alat untuk mendapat informasi yang benar atau bohong bahkan langsung dari sumbernya.

Misalnya seorang warga DKI Jakarta yang kebetulan membuka Twitter lalu mendapat unggahan video Bom Kampung Melayu, dia secara tidak langsung seperti berada di lokasi kejadian dan mendapat informasi utuh. Informasi yang mudah diperoleh dari medsos mendorong seseorang mencari lebih banyak informasi tanpa harus beranjak dari tempat tidurnya bahkan saat di tengah hutan yang sukar dijelajah sekalipun.

Selain mendapat informasi utuh, medsos juga menyajikan banyak pilihan bagi siapapun untuk memberi komentar dan ekspresi menjawab kegundahan hati. Bukankah itu sangat mudah dan menyenangkan?, maka tidak salah banyak masyarakat Indonesia menggunakan medsos sebagai alat kebutuhan hidup. Terkhusus mereka masyarakat modern yang melek teknologi, tapi tidak untuk masyarakat yang berada di pedalaman dengan klasifikasi usia lanjut.

Ada sedikitnya sepuluh kelompok sosmed yang dikasifikasikan dengan karakter khasnya. Sepuluh kelompok sosmed ini dimulai dari Social Networks ( Facebook, myspace, hi5, Linked in, bebo), Discuss, (google talk, yahoo! M, skype, phorum), Share (youtube, slideshare, feedback, flickr, crowdstorm), Publish (wordpredss, wikipedia, blog, wikia, digg, dll), Social game (koongregate, doof, pogo, cafe.com), MMO (kartrider, warcraft, neopets, conan), Virtual worlds (habbo, imvu, starday), Livecast (y! Live, blog tv, justin tv, listream tv, livecastr), Livestream (socializr, froendsfreed, socialthings!) dan Micro blog (twitter, plurk, pownce, twirxr, plazes, tweetpeek).

Kemudahan menggunakan medsos telah menjadi alat bagi seseorang atau sekelompok orang memahami bahkan memusuhi kelompok lain. Tak ubahnya medan tempur yang setiap prajurit silih berganti, amunisinya apa? jawabannya Isu.

Bayangkan saja bagaimana kejadian faktual yang terunggah dalam medsos menjadi seperti bola liar. Kejadian faktual lalu dimulti artikan dalam berbagai sudut pandang yang berbeda, kelompok tertentu terkadang memanfaatkannya untuk menyerang kelompok lain. Hingga kemudian kejadian faktual bertransformasi menjadi isu dalam bentuk berita hoax lalu berubah menjadi opini publik yang subyeknya tidak diketahui, hanya saja dapat diklasifikasi. Namun bila kemudian menjadi ancaman bagi negara atau kelompok lain maka alat pentungnya yaitu Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau dikenal UU ITE.

Medsos sebagai partai baru

Kemudahan dan kebebasan memilih penggunaan medsos telah menjadi kekuatan bagi sekelompok orang. Adakalanya kekuatan itu datang bukan dari siapa pencipta medsos melainkan dari orang-orang di belakang layar smartphone dan personal computer atau laptop sebagai user medsos itu sendiri. Dari kita, oleh kita dan untuk kita sebagai refresentasi medsos pada generasi milenial. Keterwakilan itu menjadikan medsos sebagai satu kekuatan pada ranah isu, opini hingga politik praktis yang bersentuhan langsung dengan kelompok satu dengan yang lainnya.

Studi kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin. Saya melihat bahwa ada banyak hal yang turut andil memengaruhi Pilkada DKI. Tidak saja berasal dari lingkaran partai pendukung atau isu penistaan agama Ahok, tapi ada pihak ketiga yang tidak tersalahkan dan bahkan tidak sama sekali diperhitungkan yaitu medsos. Jika partai politik adalah alat kendaraan mencalonkan kepala daerah maka medsoslah pengemudinya. Dia tidak harus datang ke KPU bersama pasangan calon melainkan pasangan calon beserta tim suksesnya yang mendekati medsos, dia tidak tidur bahkan tidak banyak makan. Perwujudan medsos ini mengambil alih panggung-panggung politik pada ranah isu hingga taktis urusan Black campaign. Sementara berita hoax telah menjadi sekretaris yang mengendalikan opini bad news sebagai alat serang tercanggih dimasanya.

CEO Indexpolitica Research and Consulting, Denny Charter mengatakan:

“Hoax di Pilkada DKI kali ini memang luar binasa!! Kedua kandidat ditelanjangi sampai ‘bugil’ dengan tools yang sama yaitu Sosial Media. Faktanya berita Hoax memang lebih banyak di klik daripada berita yang benar. Nah kalau kita teliti lagi sebenarnya berita Hoax ini belum tentu di create oleh Timse salah satu pasangan kandidat, ada pihak lain yang sama sekali tidak terafiliasi sebagai timses kandidat manapun yang hanya mengejar klik, view dan traffic. Sekali lagi di duni online atau Cyber seperti ini yang namanya Traffic adalah raja.” (Denny Charter, Facebook 17 April 2017).

Oleh: Saefudin Sei (Pimpinan Redaksi Purwakarta Post)

*tulisan ini pernah dimuat pada jabar1.id yang masih bagian dari Purwakarta Post

Artikel ini telah dibaca 6 kali

badge-check

Editor

Baca Lainnya

Kursi Empuk DPR RI dan DPRD Provinsi, Siapa Berpeluang?

7 Januari 2024 - 17:16 WIB

Sahabat Disabilitas: Diberdayakan, Bukan Dimanfaatkan

8 November 2023 - 17:58 WIB

Kyai Anwar Nasihin dan Kiprah NU untuk Kemajuan Purwakarta

3 September 2023 - 13:45 WIB

Pemilih Pemula Sudah Seperti Buih di Lautan

21 Februari 2023 - 13:05 WIB

Angka Kemiskinan Diantara Program Melanjutkan Purwakarta Istimewa

20 Februari 2023 - 16:07 WIB

Masih adakah Mahasiswa yang Dirindukan Seperti Sejarah di Buku Pergerakan?

12 Februari 2023 - 19:00 WIB

Trending di Opini